Langsa merupakan kota pemekaran
Kabupaten Aceh Timur dan merupakan salah satu kota otonom termuda di Provinsi
Aceh . Berada kurang lebih 400 Km dari Kota Banda Aceh. Kota Langsa sebelumnya
berstatus Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 64 tahun
1991 tentang pembentukan Kota Administratif. Langsa kemudian ditetapkan
statusnya menjadi kota dengan undang-undang nomor 3 tahun 2001 tanggal 21 Juni
2001.
Kota Langsa terletak pada posisi
sebelah utara pulau Sumatera yaitu pada 040 24’35,68’’ – 040
33’ 47,03’’ Lintang Utara dan 970 53’ 14,59’’ – 980 04’
42,16’’ Bujur Timur dengan luas wilayah 23.983 km2 (23,983 Ha). Kota
Langsa terdiri dari 66 desa (Gampong) yang tersebar di 5 kecamatan yaitu,
Langsa Kota, Langsa Lama, Langsa Baro, Langsa Timur dan Langsa Barat. Kota
Langsa beriklim tropis dan mempunyai dataran rendah dan bergelombang serta
sungai-sungai dengan curah hujan rata-rata tiap tahunnya dengan kisaran 1.850 –
4.013 mm, dimana suhu udara berkisar antara 280 C dan kelembaban
nisbi Kota Langsa rata-rata 75 %.
Secara administratif Kota Langsa
berbatasan dengan wilayah sebagai berikut :
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Birem
Bayeun Kabupaten Aceh Timur dan Selat Malaka.
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Manyak
Payed Kabupaten Aceh Tamiang.
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur dan Kecamatan Manyak Payed Kabupaten Aceh
Tamiang.
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Birem
Bayeun Kabupaten Aceh Timur.
Pemanfaatan Lahan dan Pengelolaan Tata Ruang
Kepala Bappeda Kota Langsa Said
Fadli, SE Rabu, (10/12) mengatakan, sesuai Qanun (Perda) RT RW Kota Langsa,
Pemanfaatan lahan dan Tata Ruang dibagi dalam 5 zona seperti :
-
Sebelah Utara, kawasan industri dan jaringan
jalan utama menuju kawasan pelabuhan.
-
Sebelah Selatan, jaringan jalan, Tempat
Pembuangan Akhir sampah (TPA) dan bidang pendidikan.
-
Sebelah Timur, zona pertanian.
- Sebelah Barat, jaringan jalan alternatif,
pemukiman, industri ringan, sedang, pergudangan, perdagangan jasa dan meliputi
kegiatan pemerintahan disekitarnya.
- Pusat kota, kegiatan Central Bisnis Distric
((CBD), perkantoran dan pemukiman.
Said Fadli menjelaskan,
berdasarkan Qanun RT RW tersebut untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) harus
dialokasikan ke publik 20 persen dari luas kawasan dan untuk pribadi 10 persen
dari luas kawasan. Menurutnya, secara umum dengan luasan wilayah Kota Langsa,
Pemerintah Kota Langsa telah memenuhi syarat dalam mengalokasikan RTH tersebut.
“Namun pada titik-titik kawasan tertentu perlu
penanganan RTH secara intensif dan terintegrasi seperti hutan kota dan taman
kota Bambu Runcing,” jelasnya.
Dia juga menambahkan, dalam
anggaran 2015 mendatang Pemerintah Kota Langsa konsen dan menjadi skala
strategis dalam mengembangkan program kegiatan menuju Kota Langsa sebagai kota
hijau atau Green City.
“Beberapa tahapan sedang
dilaksanakan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Hijau,
baik peningkatan program maupun anggarannya,” tambahnya.
Pengelolaan Sampah
Permasalahan yang umum dihadapi
Pemerintah Kota Langsa adalah masalah kebersihan lingkungan yang berkaitan
dengan sampah, timbulan sampah yang dihasilkan, bagaimana mengelola sampah yang
baik dan benar serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan
lingkungan.
Sampah merupakan salah satu
masalah yang serius di lingkungan masyarakat. Seiring dengan pertambahan
penduduk tentu menimbulkan bertambahnya volume sampah demikian pula perubahan
pola konsumsi masyarakat juga memberikan kontribusi berbagai jenis sampah yang
semakin beragam.
Dengan metode dan teknik yang
tidak berwawasan lingkungan, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan sehingga
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.
Kasubbag Umum dan Kepegawaian
Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan Kota Langsa Zulkarnaey, ST
mengatakan Rabu, (10/12) produksi sampah di Kota Langsa dari tahun ketahun
terus mengalami peningkatan. Saat ini produksi sampah mencapai 610,6 m3/hari
atau sekitar 197.201,1 m3/ tahunnya.
“Timbulan sampah tersebut tidak
semuanya bisa diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), karena keterbatasan
armada. Saat ini kita hanya memiliki 7 unit armada yang beroperasi setiap hari
pada pagi, siang dan malam hari. Setiap harinya kita hanya bisa mengangkut
sampah sekitar 152,6 m3, sedangkan sampah yang tertinggal dalam
setiap harinya lebih besar atau sekitar 458 m3,” ungkap Zulkarnaey.
Kata Dia, kurangnya fasilitas
sarana dan prasarana sebagai pendukung pengelolaan sampah juga mengakibatkan
timbulan sampah dimana-mana. Saat ini Pemerintah Kota Langsa hanya menyediakan
Tempat Penampungan Sampah (TPS) sebanyak 45 set termasuk tong organik dan
non-organik, ditambah 35 bak penampung sampah.
“Menumbuh kembangkan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan dan membuang sampah pada tempatnya secara berkelanjutan
terus dilakukan dengan melakukan sosialisasi dan penerapan teknologi yang tepat
untuk mengurangi dan menangani sampah,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan, Pemerintah
Kota Langsa akan terus menerus mencari solusi untuk mengurangi jumlah sampah
dilingkungan sekitar dan bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat.
Pada tahun 2008 lalu, Badan Rehabilitasi dan
Rekontruksi (BRR) NAD – Nias membangun Tempat Pembuangan Ahkir
Sampah (TPA) dengan sistem pengolahan sederhana atau sedang (Opendumping)
dengan luas 10 Ha yang berlokasi sebelah Selatan Kota Langsa yang
berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur di Desa Jamur Labu Kecamatan Birem
Bayeun. Jarak TPA tersebut sekitar 7 Km dari Pusat kota.
Akibat keterbatasan anggaran,
Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup baru dapat diselesaikan pada tahun 2012.
BLHKP Kota Langsa hanya berfokus pada anggaran DAK yang sejak berdirinya Kantor
Kebersihan hanya mendapat kucuran dana yang sangat minim mulai dari anggaran
300 juta, kemudian ditahun berikutnya bertambah 700 juta dan terus meningkat secara
bertahap hingga status kantor ditingkatkan menjadi sebuah badan, pada 2015
mendatang BLHKP mendapat kucuran dana
sebesar 1,2 milyar.
“Saat ini TPA masih sistem
sederhana atau sedang (Opendumping), proses pengolahannya dimulai dari TPA
menuju kolam Lindy dengan melalui 10 proses penyaringan, dikolam penyaringan
terakhir nantinya akan kita isi dengan ikan lele, kalau ikan-ikan tersebut
tidak mati, air limbah sudah bisa kita alirkan kesungai. Namun pada 2015 mendatang
sistem pengelolaan sampah kita sudah daur ulang (Sanitary Landfill),”
ungkapnya.
Kata Zulkarnaey, saat ini
pihaknya masih melakukan perbaikan-perbaikan TPA, dengan membuat talud,
pengadaan armada pengangkut sampah untuk daur ulang. Selain itu pihaknya juga
kan membuat program-program untuk pemulihan kualitas air, pencadangan air masa
depan, memantau kualitas air sungai, penguatan sektor kebersihan dan sekolah.
Menurutnya, jika pengelolaan TPA tidak segera diperbaiki akan sangat mengancam
kesehatan masyarakat.
“Cairan yang keluar dari tempat
penampungan sampah itu sangat berbahaya bila menyatu dengan tanah, akan terjadi
kerusakan tanah dan akan mencemari lingkungan,” jelasnya.
Dilokasi TPA tersebut sudah
tersedia sejumlah alat daur ulang, seperti alat pencacah sampah kering atau
organik dan pencacah pelastik yang kemudian disaring menggunakan alat
penyaringan untuk dilakukan pengomposan. Namun alat-alat tersebut belum
digunakan karena daya listrik di TPA tersebut tidak mencukupi untuk
menghidupkan alat-alat pencacah itu.
Menurut LSM Bale Juroeng dan LSM
AWF terkait pengelolaan sampah dan RTH nya, Pemko Langsa sudah memiliki konsep
pondasi yang cukup baik, hanya saja belum dimanfaatkan secara optimal misalnya
proses daur ulang yang belum difungsikan. Sedangkan untuk RTH diharapkan tidak
hanya sebagai tujuan RTH, tapi merupakan ekowisata dan mampu meningkatan
ekonomi masyarakat.
Semua projek itu bisa melibatkan
masyarakat dan semua stake holdes lebih aktif dan berkesinambungan, bentuknya
dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan setiap objek RTH, namun tidak secara
kelembagaan tapi secara personal dalam bentuk tidak formal.
Ketersediaan Air Bersih
Secara umum permasalahan
lingkungan hidup di Indonesia yang menuntut perhatian serius adalah masalah
pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran oleh limbah domestik dan sampah.
Selain itu terjadinya kontaminasi lingkungan oleh Bahan Berbahaya Beracun (B3),
kerusakan hutan, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan ekosistem
danau, kerusakan lingkungan pesisir dan laut maupun kerusakan lingkungan akibat
pertambangan. Disamping itu juga, penipisan lapisan ozon, pemanasan global dan
perubahan iklim, bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan
merupakan masalaha lingkungan yang sangat serius.
Namun, jika hal ini tidak segera
ditangani oleh para stakeholders serta kesadaran masyarakat akan pentingnya
menjaga lingkungan, hal ini akan menyebabkan degradasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang akan mengakibatkan krisis air, pangan dan energi dimasa
mendatang.
Dalam hal ini, Pemerintah Kota
Langsa berencana akan menambah pembuatan beberapa waduk di Desa Meurandeh
Kecamatan Langsa Lama, Desa Matang Setui Kecamatan Langsa Timur dan membuat
waduk kecil (Situ) yang berlokasi di Desa Simpang Lee Kecamatan Langsa Barat.
Kota Langsa saat ini hanya
memiliki sebuah waduk yang berada di Desa Keumuning Kecamatan Langsa Baro.
Suplai air bersih oleh PDAM Tirta Keumuning kepada masyarakat satu-satunya
bersumber dari waduk tersebut.
Kepala Bappeda Kota Langsa Said
Fadli, SE mengatakan, penyediaan air bersih masih mencukupi, namun pada momen
tertentu misalnya saat kemarau air akan berkurang dan penyaluran air bersih
kepada masyarakat akan tersendat.
“Masyarakat yang terlayani air
bersih melalui PDAM hanya 35 persen, selebihnya masyarakat menggunakan sumur
untuk mendapatkan air bersih, namun secara bertahap akan terus dilakukan
pembenahan yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan anggaran,” ungkapnya.
Dalam penyusunan anggaran
PemerintahKota Langsa memberikan pagu indikatif, dimana setiap perencanaan
sudah tertuang didalam RPJM yang kemudian diturunkan kedalam rencana strategis
SKPK (Rensra SKPK) selama 5 tahun dan kemudia diturunkan pertahun melalui
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
“Pada tahun 2014 saja, dari total APBK Kota Langsa untuk
belanja aparatur mencapai 58 persen dan sisanya untuk belanja publik, jumlah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat minim sehingga tingkat ketergantungan ke
pusat mencapai 90 persen,” tambahnya.
Krisis air bersih dan masalah
sanitasi masih sangat dirasakan sebagian warga yang tinggal di sekitar Daerah
Aliran Sungai (DAS). Masyarakat tersebut masih melakukan aktivitas MCK di
sungai tersebut, namun untuk kebutuhan memasak dan minum mereka harus membeli
air kepada pedagang air keliling dengan harga Rp.4000,- per 35 liternya. Meski
dengan kondisi air sungai yang berwarna kuning kehitam-hitaman, warga terpaksa
memanfaatkan sungai tersebut karena tidak tahu harus mengambil air kemana.
Warga mengaku, sebagian dari
mereka harus mengalami gatal-gatal pada kulit setelah menggunakan air sungai
tersebut. Meskipun masyarakat yang tinggal di sepanjang DAS tersebut menjadikan
sungai sebagai tempat aktivitas MCK, namun mereka mengaku kerap membuang sampah
disungai tersebut dengan alasan tidak tahu mau dibuang kemana.
Salah seorang warga yang tinggal
disekitar DAS Aminah (35) mengaku selalu membuang sampah rumah tangganya ke
sungai, padahal Dia memanfaatkan sungai tersebut sebagai tempat aktivitas MCK.
“Ya dibuang kesungai,
kadang-kadang ada juga yang dibakar, kalau dibuang ketempat sampah yang
disediakan pemerintah, terlalu jauh ke tengah kota,” ungkapnya.
Hampir sepanjang sungai di Kota
Langsa banyak terlihat sampah-sampah dari limbah rumah tangga. Pemerintah
setempat juga pernah menghimbau agar warganya tidak lagi membuang sampah ke
sungai tersebut, namun warga tetap saja membandel.
“Dulu pihak pemerintah pernah
menghimbau agar membuang sampah pada tong-tong sampah yang disediakan, dan
berencana akan memindahkan kami warga disekitar sungai ketempat yang lebih
layak, namun sudah bertahun-tahun janji pemerintah itu tidak pernah ditepati,
apa lagi sebagian rumah warga sudah ada yang tumbang akibat longsor karena
selalu terkikis air saat banjir datang,” ungkap warga lainnya yang saat itu
mereka berkumpul duduk santai di depan rumahnya.
Disungai Langsa ini juga banyak
warga yang memanfaatkannya dengan memancing ikan, tidak hanya warga yang
tinggal disekitar sungai, bahkan warga desa lain yang terbilang jauh dari
sungai juga sering datang ke sungai tersebut untuk memancing ikan. Ada beberapa
jenis ikan yang masih banyak di sungai tersebut seperti ikan gabus, ikan lele,
ada juga jenis ikan yang biasa disebut warga ikan paitan.
Salah seorang warga Desa Suka
Rakyat Kecamatan Langsa Baro Asep (28) rela datang jauh-jauh untuk memancing di
sungai tersebut.
“Dari Suka Rakyat bang, disini
masih banyak ikannya, ini baru sampek saya sudah dapat ikan, rame juga
teman-teman yang ikut memancing disini, sebagian mereka memancing sebelah
sana,” terang Asep sambil menunjukkan ikan hasil pancingnya.
Tata Kelola Hutan
Sejak terbentuknya Kota Langsa
2001 lalu, Pemerintah Kota Langsa sudah mulai melakukan rehabilitasi hutan.
Baik itu hutan manggrove, hutan produksi terbatas, hutan lindung, hutan kota
dan hutan rakyat.
Tata kelola hutan KPH Dinas
Kehutanan Provinsi Aceh telah membentuk UPTD/KPH untuk pengelolaan hutan Aceh
Kota Langsa KPH wilayah III mencakup Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan
satu kecamatan di Bener Meriah
Hutan Mangrove
Kota Langsa memiliki hutan
manggrove dengan luas 1231,5 Ha. Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota
Langsa mencatat saat ini kerusakan hutan mangrove yang disebabkan
pembukaan tambak liar serta maraknya industri arang sudah mencapai 40 persen
dari total luas hutan mangrove.
Untuk mengantisipasi terjadinya
kerusakan yang lebih parah lagi, Pemerintah Kota Langsa juga telah melakukan
upaya-upaya untuk menyelamatkan hutan mangrove. Upaya-upaya tersebut sudah
dimulai sejak terbentuknya Pemerintahan Kota Langsa 2001 lalu dengan melakukan
sosialisai untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat akan pentingnya hutan mangrove serta merehabilitasi dengan
menanam kembali untuk pengembangan secara kontiniu untuk keseimbangan alam.
Pada tahun 2013, Pemko Langsa
juga telah melakukan penanaman kembali hutan mangrove seluas 25 Ha yang
bersumber dari dana DAK. Pertumbuhannya berkisar antara 70 hingga 80 persen.
Kasi Perlindungan Dinas Kelautan,
Perikanan dan Pertanian Kota Langsa Hendra Rahayu, S.Hut mengatakan, Pemko
Langsa juga telah memberikan bantuan berupa Boat dan alat tangkap ikan sebagai upaya untuk merubah paradigma
masyarakat menebang pohon mangrove sebagai mata pencarian.
“Memang masyarakat yang memiliki
usaha dapur arang atau masyarakat yang menebang pohon mangrove untuk dijual
sebagai mata pencarian belum semua menerima bantuan, karena keterbatasan
anggaran, sehingga penebangan masih terus terjadi,” tukasnya.
Langkah yang diambil pemerintah
saat ini adalah mengeluarkan Perda berupa surat edaran dari Wali Kota Langsa
Tgk. Usman Abdullah, SE agar tidak menebang hutan mangrove dan melakukan
patroli rutin, masyarakat yang
tertangkap petugas melakukan penebangan, sedangkan sanksi yang dilaksanakan hanya
menyita peralatan mereka saja.
Disamping itu, Ketua Pendiri LSM
Aceh Wetland Fondation (AWF) Yusmadi Yusuf menilai, Pemerintah Kota Langsa
belum melakukan penataan fungsi pengelolaan dan tata ruang. Dampaknya mangrove
yang tidak terorganisir. Namun menurutnya, Pemko Langsa komit dalam membangun
program lingkungan hidup, mengingat penganggaran untuk program-program
lingkungan hidup sudah prioritas.
“Upaya pencegahan abrasi di
pesisir seharusnya ada proses pencegahan ataupun solusi pemanfaatan kelompok,”
ungkapnya.
Dia menambahkan, dalam hal
pertambakan LSM AWF bersama Yayasan Gajah Sumatera komit mengembangkan tambak
ramah lingkungan berupa empang parit. Bentuk empang parit ini tidak terbuka
semuanya seperti kolam masyarakat yang ada saat ini, tapi dalam sebuah kolam
masih ada kelompok-kelompok pohon mangrove yang dibiarkan tetap tumbuh di
dalamnya.
Terkait program unggulan, Pemko
Langsa perlu membuat program luncuran dan mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang empang parit ini. Dalam program ini ditawarkan pemanfaatan hutan
berbasis masyarakat yang berbentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kalim yang
diberikan kepada penebang bakau diatur dalam undang-undang.
“Program ini sedang penjajakan
oleh AWF bersama Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Regional III, dimana empang
parit seharusnya merupakan program Pemko Langsa,” jelas Yusmadi.
AWF juga mempunyai gagasan hutan
mangrove yang berada di Desa Telaga Tujuh sebagai hutan Arboretum (Pusat riset
atau hutan pendidikan). AWF sudah menjajaki kerja sama dengan KPH serta
masyarakat Desa Telaga Tujuh dan tentunya membutuhkan kemitraan dari berbagai
pihak.
Sesuai Qanun RT RW Kota Langsa
tahun 2013, AWF juga sudah mengusulkan agar Pemko Langsa membuat Qanun tata
ruang pengelolaan kawasan hutan yang bertujuan untuk mengatur pengelolaan hutan mangrove agar tidak terjadi
konflik dikemudian hari, dengan sistem pengelolaan terpadu Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat (PHBM) khusus untuk penebang.
Hutan Lindung
Kerusakan hutan lindung Kota
Langsa di Desa Keumuning Kecamatan Langsa Lama disebabkan adanya konflik lahan
antara pemerintah dengan masyarakat. Terjadi penjarahan lahan hutan lindung
yang dilakukan oleh masyarakat. Hutan lindung yang pada awalnya seluas 703,2 Ha
kini nyaris sirna diambil oleh masyarakat secara ilegal dan dijadikan kebun
milik pribadi. Kini luas hutan lindung yang tersisa hanya sekitar 0,2 persen
saja dari 703,2 Ha.
Pada lahan yang tersisa dihutan
lindung itu, pemerintah tetap melakukan rehabilitasi dengan pengkayaan bibit.
Pada tahun 2013 lalu ada 50 ribuan bibit yang terdiri dari Sengon, Jabon dan
Durian yang ditanam dihutan tersebut.
Hutan Produksi Terbatas
Hutan produksi terbatas di Kota
Langsa memiliki luas 7.609,1 Ha. Saat ini kerusakannya sudah mencapai 60 persen.
Hutan Kota
Hutan kota merupakan bagian dari
Ruang Terbuka Hijau (RTH). Luasnya hanya 9,2 Ha saja, namun hutan kota ini
terawat dengan baik, selain diisi dengan jenis kayu kelas seperti Damar,
Meranti, Merbo, juga ada jenis pohon langka lainnya.
Sebuah lembaga yang bergerak dibidang lingkungan hidup
yaitu LSM Bale Juroeng berkantor di hutan tersebut. Lembaga tersebut juga
membudi dayakan jenis tanaman buah jambu air madu di dalam hutan kota itu,
kemudian sampah pepohonan atau daun-daun kering diolah menjadi kompos yang
dikemas kedalam kantong plastik. Kompos-kompos ini dijual dengan harga
Rp.10.000,- per kantongnya.
Ditengah hutan ada terdapat
semacam waduk yang berfungsi sebagai resapan air dan rencananya akan terus
dikembangkan menjadi tempat kolam pemancingan bagi warga maupun kegitan
lingkungan hidup lainnya. Selain itu, Pemko Langsa juga mulai membangun kandang
rusa di dalam hutan tersebut.
Menurut Direktur LSM Bale Juroeng
Iskandar Haka, dalam 2 tahun terakhir alokasi anggaran untuk lingkungan hidup
oleh Pemko Langsa sudah lebih baik. Dia mengharapkan kedepan pemerintah
setempat perlu membangun komunikasi dengan LSM dalam program lingkungan hidup,
sehingga terbangun kerja sama yang baik dalam membangun dan mengembangkan
program-program lingkungan.
Dia mengaku selama ini, sejak
terbentuknya LSM Bale Juroeng 14 tahun lalu tidak pernah dilibatkan dalam hal
penyusunan anggaran. Menurutnya program pemerintah dibidang lingkungan hidup
sudah cukup baik, namun dalam hal ini pemerintah dinilai lebih kalkulator bukan
motivator.
“Pemko Langsa lebih mengejar
target yang sudah disusun oleh Bappeda, bukativasi masyarakat,” tukasnya.
Menanggapi tata kelola kehutanan
Kota Langsa, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Samudera Langsa Ir. Cut
Mulyani, MP mengapresiasi Wali Kota saat ini dan sebelumnya dalam hal tata
kelola kehutanan dan kebersihan lingkungan.
Wali Kota Langsa Tgk. Usman
Abdullah, SE merupakan alumni Universitas tersebut dan sering mengajak
universitas itu bekerja sama untuk menggalakkan penanaman pohon ditambah lagi
Kadis yang membidangi kehutanan juga alumni universitas tersebut.
Dia mengaku, saat ini pihak
pemerintah dan universitas sudah ada hubungan harmonis, mahasiswa pertanian
juga bisa memanfaatkan hutan-hutan itu dalam mengembangkan ilmunya. Namun dalam
hal program, kebijakan penganggaran kehutanan oleh pemda maupun partisipasi,
pihaknya tidak pernah dilibatkan. Menurutnya keterlibatan universitas dalam hal
tersebut sangat penting, karena beberapa program studi seperti Agroteknologi
dan Agribisnis erat kaitannya dengan dinas.
Hutan Rakyat
Pemerintah Kota Langsa memiliki
hutan rakyat dengan luas 600 Ha. Dalam program Pemerintah Pusat bibit rakyat
penghijauan lingkungan tahun 2014 ada 3000 lebih bibit buah-buahan seperti
mangga, rambutan, durian yang dibagikan kemasyarakat untuk ditanam dikebun.
Kemudian masih ditahun 2014
program ada 2 kelompok tani yang mendapat kucuran dana pengembangan bibit
kelompok tani sebesar 100 juta. Masing-masing kelompok mendapat 50 juta yang
penyalurannya per termin, tahap I 30 persen, tahap II 30 persen dan tahap III
40 persen. Bibit yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,
seperti karet, durian, sengon dan jabon, dalam satu kelompok anggota terdiri
dari 10 sampai 15 orang.
Pendapat pengusaha
Kafirudin sebagai pemilik
perusahaan kecap Aneka Guna yang berlokasi dipusat Kota Langsa tepatnya di Jl.
Iskandar Muda no.87. Perusahaan ini sudah berdiri sejak tahun 1929 silam dan
menampung sedikitnya 45 tenaga kerja. Dalam sehari pabrik kecap tersebut
memproduksi rata-rata 200 lusin kecap.
Bagi Kafirudin meski dianggapnya
ketat, kebijakan lingkungan hidup baik untuk diikuti karena merupakan peraturan
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Menurutnya kebijakan tersebut masih
dirasa nyaman karena program pemerintah itu bagus.
“Sekarang tergantung
masyarakatnya atau tergantung pengusahanya, mau ikut atau tidak dengan
peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah,” ujarnya sambil menunjukkan dokumen
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
operasional industri perusahaan yang dikelolanya.
Dia juga mengaku dilibatkan dalam
perbaikan lingkungan hidup seperti gotong royong bersama.
“Tidak lagi, karena kebijakan
yang baik, kalau mencemari tentu sudah diprotes oleh dinas lingkungan,”
tukasnya.