Penjarahan kawasan hutan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Penjarahan hutan atau illegal logging adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Demikian disampaikan Pengamat lingkungan, Ir. Jaya Arjuna pada acara diskusi bersama sejumlah jurnalis Aceh dan Sumatera yang seponsori oleh SIEJ ( Society of Indonesian Enviromental Jounarlists) dengan Tema diskusi adalah “Prediksi Lingkungan Aceh 1 Tahun Kedepan”.
Hadjad, relawan Tanggap Bencana Sumatera yang juga hadir
sebagai narasumber menceritakan pengalamannya selama melakukan evakuasi
diberbagai titik lokasi bencana termasuk di Aceh.
“Pada dasarnya masyarakat kurang menyadari dampak yang
akan terjadi akibat perbuatannya karena kerusakan alam dampaknya tidak lansung
terjadi tetapi proses,” ungkap Hadjad.
Selain itu, katanya masyarakat terkadang tidak punya
pilihan untuk bertahan hidup. Sementara pemerintah tidak memberikan solusi.
Kehidupan
masyarakat di pinggiran hutan saat ini sangat bergantung dari Sumber daya alam
di sekitar kawasan tempat tinggalnya. Meski mereka mengetahui ada peraturan yang melarang
penebangan hutan namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka
sangat bergantung pada apa yang ada di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari – hari.
Bencana
alam yang saat ini sering terjadi adalah akibat dari kerusakan hutan. Seperti perubahan cuaca yang ekstrim. Pemanasan global yang saat ini banyak menyita perhatian semua pihak. Hal itu terjadi karena banyaknya emisi karbon yang di
lepaskan ke udara baik oleh pabrik, kendaraan dan
berbagai pemicu pelepasan karbon ke udara. Sementara disisi lain penyerapan karbon oleh kawasan hutan hampir tidak ada karena hutan
tersebut sudah gudul.
“ Manusia terus saja menciptakan berbagai kegiatan yang
dapat memicu pelepasan emisi karbon ke udara dan kemudian memusnahkan hutan
padahal hutanlah yang dapat menyerap emisi karbon itu,” ungkap Jaya Arjuna.
Maraknya
penjarahan hutan berkaitan
dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, lemahnya penegakan
hukum dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan
Data menunjukkan
bahwa sejak tahun 1999-an Indonesia
telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan hanya sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa.
Selain
penjarahan hutan atau illegal logging, kerusakan hutan semakin diperparah oleh tingginya tingkat pertumbuhan tambang di
Aceh. Yakni pertambangan Biji besi, Emas dan Batubara.
Saat ini dari
130,68 juta hektar hutan nasional, 41 juta hektar hutan menjadi gundul. Akibat
dari illegal logging alias pembalakan liar saja negara ditaksir mengalami
kerugian triliunan rupiah.
Jaya menambahkan, dalam kurun waktu 50 tahun luas
tutupan hutan Aceh dan Sumatera mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan
hutan di seluruh kawasan Aceh. Sebagian besar kerusakan
hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang
menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi
untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Sepanjang 2006, luas hutan dikawasan Sumatera dan Aceh
yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar
dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi
dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan
seperti ini dipertahankan, dimana sumatera dan kalimantan sudah kehilangan
hutannya, maka hutan di Sulawesi dan papua akan mengalami hal yang sama.
Saat
ini sedikitnya 700 ribu hektar luas hutan di Aceh sudah dikapling sebagai areal
yang mendapat izin pengelolaan tambang. Dinas Pertambangan dan Energi Aceh
Propinsi Aceh menyatakan bahwa di Aceh ada 145 perusahaan pertambangan yang
sedang beroperasi saat ini.
Merujuk
dari kenyataan data tersebut diatas, tentu sudah dapat diprediksi tinggkat
kerusakan lingkungan dan hutan di Aceh untuk satu tahun kedepan.
Nb: Resume Hasil Diskusi
1.
Membentuk
jaringan untuk memperkuat presure isu-isu pembalakan liar, dan kerusakan
lingkungan Aceh dan Sumatera.
2.
Mencari
donatur untuk mendapatkan citra satelit real time yang bisa memantau kegiatan
perambahan hutan.
3.
Jurnalis
terus melakukan presure melalui tulisan-tulisan isu lingkungan dengan porsi
yang lebih besar.
4.
Memperbanyak
forum-forum diskusi dan pelatihan seputar kasus kerusakan hutan dan kerusakan
lingkungan.
5.
Membentuk
SIEJ cabang di daerah Aceh dan Sumatera (kelompok Jurnalis lingkungan) untuk
memperkuat dan mempercepat presure kasus-kasus lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar