var addthis_config = {"data_track_addressbar":true};

toneng.blogspot.com

Selasa, 10 Juni 2014

DISKUSI : PREDIKSI KERUSAKAN HUTAN DI ACEH UNTUK I TAHUN KEDEPAN


Penjarahan kawasan hutan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir semakin tinggi. Penjarahan hutan atau illegal logging adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.

Demikian disampaikan Pengamat lingkungan, Ir. Jaya Arjuna pada acara diskusi bersama sejumlah jurnalis Aceh dan Sumatera yang seponsori oleh SIEJ ( Society of Indonesian Enviromental Jounarlists) dengan Tema diskusi adalah “Prediksi Lingkungan Aceh 1 Tahun Kedepan”.

Hadjad, relawan Tanggap Bencana Sumatera yang juga hadir sebagai narasumber menceritakan pengalamannya selama melakukan evakuasi diberbagai titik lokasi bencana termasuk di Aceh.

Pada dasarnya masyarakat kurang menyadari dampak yang akan terjadi akibat perbuatannya karena kerusakan alam dampaknya tidak lansung terjadi tetapi proses,” ungkap Hadjad.

Selain itu, katanya masyarakat terkadang tidak punya pilihan untuk bertahan hidup. Sementara pemerintah tidak memberikan solusi.    

Kehidupan masyarakat di pinggiran hutan saat ini sangat bergantung dari Sumber daya  alam di sekitar kawasan tempat tinggalnya. Meski mereka mengetahui ada peraturan yang melarang penebangan hutan namun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka sangat bergantung pada apa yang ada di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari.

Bencana alam yang saat ini sering terjadi adalah akibat dari kerusakan hutan. Seperti perubahan cuaca yang ekstrim. Pemanasan global yang saat ini banyak menyita perhatian semua pihak. Hal itu terjadi karena banyaknya emisi karbon yang di lepaskan ke udara baik oleh pabrik, kendaraan dan berbagai pemicu pelepasan karbon ke udara. Sementara disisi lain penyerapan karbon oleh kawasan hutan hampir tidak ada karena hutan tersebut sudah gudul.

“ Manusia terus saja menciptakan berbagai kegiatan yang dapat memicu pelepasan emisi karbon ke udara dan kemudian memusnahkan hutan padahal hutanlah yang dapat menyerap emisi karbon itu,” ungkap Jaya Arjuna.

Maraknya penjarahan hutan berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, lemahnya penegakan hukum dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan

Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1999-an  Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan hanya sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa.

Selain penjarahan hutan atau illegal logging, kerusakan hutan semakin diperparah oleh tingginya tingkat pertumbuhan tambang di Aceh. Yakni pertambangan Biji besi, Emas dan Batubara.  

Saat ini dari 130,68 juta hektar hutan nasional, 41 juta hektar hutan menjadi gundul. Akibat dari illegal logging alias pembalakan liar saja negara di­tak­sir mengalami kerugian tri­liunan rupiah.

Jaya  menambahkan, dalam kurun waktu 50 tahun luas tutupan hutan Aceh dan Sumatera mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh kawasan Aceh. Sebagian besar kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.

Sepanjang  2006, luas hutan dikawasan Sumatera dan Aceh yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana sumatera dan kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan papua akan mengalami hal yang sama.

Saat ini sedikitnya 700 ribu hektar luas hutan di Aceh sudah dikapling sebagai areal yang mendapat izin pengelolaan tambang. Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Propinsi Aceh menyatakan bahwa di Aceh ada 145 perusahaan pertambangan yang sedang beroperasi saat ini.

Merujuk dari kenyataan data tersebut diatas, tentu sudah dapat diprediksi tinggkat kerusakan lingkungan dan hutan di Aceh untuk satu tahun kedepan.

Nb: Resume Hasil Diskusi
1.       Membentuk jaringan untuk memperkuat presure isu-isu pembalakan liar, dan kerusakan lingkungan Aceh dan Sumatera.
2.       Mencari donatur untuk mendapatkan citra satelit real time yang bisa memantau kegiatan perambahan hutan.
3.       Jurnalis terus melakukan presure melalui tulisan-tulisan isu lingkungan dengan porsi yang lebih besar.
4.       Memperbanyak forum-forum diskusi dan pelatihan seputar kasus kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan.
5.       Membentuk SIEJ cabang di daerah Aceh dan Sumatera (kelompok Jurnalis lingkungan) untuk memperkuat dan mempercepat presure kasus-kasus lingkungan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar